Senin, 14 September 2015

Malaikat Mikael Penolongku

Yang tertulis di bawah ini adalah sebuah surat yang ditulis oleh seorang Angkatan Laut muda kepada ibunya ketika ia sedang dirawat di rumah sakit, setelah terluka di Perang Korea pada tahun 1950. Surat ini jatuh ke tangan pastor pembimbing di Angkatan Laut yang membacakan surat itu di hadapan 5000 anggota Angkatan Laut di Markas Angkatan Laut San Diego pada tahun 1951.

Pastor pembimbing Angkatan Laut telah berbicara pada pemuda itu, kepada sang ibu dan kepada sersan yang bertanggung jawab atas patroli itu. Pastor pembimbing ini, Pastor Walter Muldy, meyakinkan setiap orang yang bertanya bahwa ini adalah kisah nyata. Surat itu dibacakan setahun sekali pada tahun 60-an, melalui Stasiun Radio Midwestern pada waktu Natal. Kami mempersembahkan surat ini dan biarlah berdiri di atas jasanya:

Mama tercinta,
Aku tak berani menulis surat ini kepada siapapun kecuali pada mama, karena tak seorangpun akan mempercayai-nya. Mungkin mama juga sukar menerimanya, tapi aku harus menceritakannya pada seseorang.

Pertama, aku berada di rumah sakit. Jangan cemas, mama dengarkan ya! Jangan cemas. Aku terluka, tapi aku tak apa-apa. Para dokter mengatakan aku akan sembuh dalam waktu satu bulan. Tapi bukan itu yang mau aku ceritakan.

Apakah mama ingat, Ketika saat aku masuk Angkatan Laut tahun lalu? Apakah mama ingat, ketika aku berangkat bagaimana mama meyuruhku untuk berdoa kepada St. Michael setiap hari? Mama sebenarnya tak perlu menyuruhku untuk berbuat demikian. Sejak itu aku dapat mengingat mama yang selalu menyuruhku berdoa pada St. Michael, Sang Malaikat Agung. Mama bahkan menamakan aku mengikuti namanya.

Ketika tiba di Korea, aku bahkan berdoa lebih keras lagi, ingatkah mama akan doa yang mama ajarkan kepadaku?“Michael, Michael pasukan surgawi menghiasi...” Kau tahu selanjutnya. Baiklah, aku mendoakannya setiap hari. Kadang-kadang saat aku sedang berbaris atau kadang-kadang ketika istirahat. Tapi selalu sebelum aku tidur. Aku bahkan mengajak beberapa pemuda lainnya untuk mendoakannya. Baiklah, pada suatu hari aku berada di garis depan dibekali untuk melewatinya dengan rinci. Kami sedang mengintai komunis. Aku sedang membanting tulang melawan dingin yang menggigit, nafasku seperti asap cerutu. Aku pikir aku kenal dengan semua anggota dalam patroli itu, ketika dari sisi saya datang seorang Angkatan Laut yang lain, yang tak pernah kutemui sebelumnya. Dia lebih besar daripada anggota Angkatan Laut lainnya yang pernah kulihat. Dia mungkin lebih tinggi 6 kaki 4 inchi dan tubuhnya bagus dalam proporsinya. Ini memberiku rasa aman dengan adanya sesosok tubuh seperti itu di dekatku. Bagaimanapun, di sana kita maju dengan susah payah. Anggota-anggota lainnya berpencar. Untuk memulai percakapan, aku berkata: “Dingin sekali, bukan?” Dan lalu aku tertawa, karena di sini aku mempunyai kemungkinan untuk mati terbunuh setiap saat tetapi aku malah membicarakan tentang cuaca.Temanku sepertinya mengerti. Aku dengar dia tertawa. Aku menatapnya, “Aku tak pernah melihatmu begitu lembut sebelumnya. Aku pikir aku mengenal setiap orang dalam regu ini.”

“Aku baru bergabung pada saat-saat terakhir,” ia menjawab. “Namaku Michael.”





“Begitukah?” tanyaku heran. “Itu adalah namaku juga.”

“Aku tahu,” ia berkata dan meneruskan doa, ”Michael, Michael dari pagi...” Aku terperana sejenak untuk mengatakan sesuatu. Bagaimana dia tahu namaku dan doa yang mamaku ajarkan padaku. Lalu aku tersenyum pada diriku sendiri, setiap orang dalam regu ini mengenal aku. Bukankah aku telah mengajarkan doa itu pada siapapun yang mau mendengarkannya, sehingga bahkan mereka pun menganggap aku sebagai St. Michael.

Tak seorang pun bercakap-cakap untuk waktu sesaat, lalu ia memecah kesunyian. “Kita akan menghadapi kesukaran.”

Ia berada dalam kondisi fisik yang baik atau ia bernafas demikian ringan sehingga aku tak melihat nafasnya. Nafasku keluar bagaikan awan yang besar. Sekarang di wajahnya tak ada senyuman. Kesukaran yang segera menghadang, aku berpikir sendiri, tentu dengan dikeli-lingi orang-orang komunis, itu bukanlah sesuatu peng-ungkapan yang hebat.

Salju mulai turun dalam bentuk yang besar-besar. Dalam waktu singkat seluruh pedesaan telah terblokir. Aku sedang berbaris dalam kabut putih dengan sesuatu yang basah dan lengket. Temanku menghilang.

“Michael!” aku berseru dalam keadaan panik tiba-tiba. Aku merasakan tangannya di atas lenganku, suaranya indah dan kuat. “Ini akan segera berhenti.”

Ramalannya ternyata benar. Dalam beberapa menit salju berhenti tiba-tiba seperti datangnya. Matahari bersinar terang. Aku melihat sisa pasukan. Tak ada seorang pun di sana. Kami kehilangan mereka pada saat salju turun dengan lebatnya. Aku melihat ke depan setiba kami di atas tonjolan. Mam, hatiku berhenti berdegup. Ada tujuh orang. Ya, tujuh orang komunis dengan memakai celana yang dilapis dan jaket dan topi mereka yang lucu. Hanya saja tak ada yang lucu pada saat ini karena tujuh senjata ditunjukan ke arah kami. “Tiarap, Michael!” aku menjerit dan menghatam tanah beku. Aku mendengar senjata-senjata itu ditembakkan hampir seperti bersamaan. Aku mendengar peluru-pelurunya. Di sana Michael masih berdiri.

"Michael!" aku berseru dalam keadaan panik tiba-tiba. Aku merasakan tangannya di atas lenganku, suaranya indah dan kuat. "Ini akan segera berhenti."

Mam, orang-orang itu tak mungkin meleset, tidak pada jarak seperti itu. Aku mengharap untuk melihat dia hancur berkeping-keping. Tapi dia tetap berdiri tak berusaha untuk menembak. Dia seperti lumpuh karena ketakutan. Itu juga kadang-kadang terjadi. Mam, meskipun yang terberani sekalipun. Dia seperti burung yang dihipnotis oleh ular. Paling tidak itulah yang kami pikir ketika itu. Aku melompat untuk menarik dia supaya tiarap, itulah saatnya aku terkena tembakan itu. Aku tiba-tiba merasa ada api di dadaku. Aku sering memikirkan bagaimana kira-kira rasanya kalau tertembak. Sekarang aku telah merasakannya. Aku ingat pelukan lengan-lengan ketat yang membaringkan aku demikian lembut di atas bantal salju. Aku membuka mataku, untuk terakhir kalinya aku pikir aku sedang sekarat. Bahkan mungkin aku merasa sudah mati. Aku merasa mengingatnya dengan baik dan itu tidak begitu menyakitkan. Mungkin aku sedang menatap matahari, mungkin aku sedang schok. Tapi sepertinya aku melihat Michael berdiri tegak lagi, hanya kali ini wajah-Nya bersinar-sinar dengan cahaya yang kemilau. Seperti kataku, mungkin ini matahari di mataku, tapi sepertinya ia berubah ketika aku memperhatikannya. Dia bertambah besar, lengannya mengembang dengan lebar, mungkin salju turun lagi. Tapi ada sinar terang di sekeliling dia seperti sayap malaikat. Dalam tangannya terdapat sebilah pedang. Pedang yang berkilatan dengan senjata cahaya.Itulah hal terakhir yang kuingat sampai anggota pasukan lainnya datang dan menemukan aku. Aku tak tahu berapa waktu yang telah berlalu. Sesekali aku merasakan hilangnya rasa sakit dan demam. Aku ingat menceritakan kepada mereka tentang musuh yang menghadang itu.

“Dimana Michael?” aku bertanya. Aku melihat mereka saling menatap.

“Dimana siapa?” seseorang bertanya.

“Michael, Michael, anggota Angkatan Laut yang berbadan besar, aku sedang berjalan bersamanya sesaat sebelum hujan salju menghatam kami.”

“Nak,” kata Sersan, “Kau tidak berjalan bersama siapa-siapa. Aku memperhatikanmu selalu, sepanjang waktu. Kau jalan terlalu jauh. Aku baru mau memanggilmu, ketika kau menghilang dalam salju.”

Ia melihat padaku dengan rasa penuh keingintahuannya. “Bagaimana kau melakukannya, nak?”

“Bagaimana apanya?” aku bertanya setengah marah, meskipun aku sedang dalam keadaan terluka. “Anggota Angkatan Laut itu namanya adalah Michael dan aku baru saja...”

“Nak,” kata sersan dengan ramah, “Aku memilih pasukan ini sendiri dan dalam pasukan ini tidak ada Michael lainnya selain kamu. Kau adalah satu-satunya Michael di sini.”

Dia berhenti sejenak. “Bagaimana kau melakukannya, nak? Kami mendengar suara tembakan yang keluar dari senapanmu. Dan pada tubuh mereka tak ada peluru, tujuh tubuh yang menggeletak di sana, di balik bukit.” Aku tak mengatakan apa-apa dari apa yang dapat kukatakan. Aku hanya dapat melongo saja karena keheranan. Baru kemudian Sersan berkata lagi. “Nak,” ia berkata dengan halus, “Setiap orang dari ketujuh komunis itu terbunuh dengan sambaran pedang.”

Itulah semua yang dapat kuceritakan pada mama. Seperti kataku, mungkin matahari bersinar dalam mataku, mungkin karena dingin atau karena kesakitan. Tapi itulah yang terjadi.

Salam Kasih,
Michael

Doa Kepada Malaikat AGUNG St. Mikhael

Santo Mikhael, Malaikat Agung,
Belalah kami pada hari pertempuran
Jadilah pelindung kami
Melawan kejahatan dan jebakan si jahat
Dengan rendah hati kami mohon,
Kiranya Allah menghardiknya,
Dan semoga engkau, Hai Panglima pasukan Surgawi,
Dengan kuasa Allah,
Mencampakkan ke dalam neraka:
Setan dan semua roh jahat lain
Yang berkeliaran di dunia hendak membinasakan jiwa-jiwa. Amin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar